BETHANY.OR.ID – Rasa putus asa merupakan salah satu gangguan depresi, yang ditandai dengan perasaan sedih, tak bergairah, mudah lelah, serta perasaan anhedonia.
Orang yang putus asa merasa tidak ada pengharapan lagi, tidak mampu untuk bangkit lagi. Putus asa merupakan bagian dari proses berpikir seseorang, di mana dia mempunyai pandangan atau penilaian, bahwa dirinya sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Bahkan tidak ada yang dapat diharapkannya. Dia menilai dirinya terlalu rendah dan selalu berpikiran negatif. Dia merasa tidak berguna, atau tidak ada yang memperhatikan dan tidak ada yang peduli. Pada taraf tertentu, maka kepercayaan diri (self esteem-nya) menjadi sangat rendah. Demikian juga de-ngan citra dirinya. Bahkan dalam tekanan kondisi yang berat, bisa saja mengambil keputusan yang fatal. Misalnya bunuh diri atau tidak mau berbuat apapun juga.
Secara umum, terdapat 3 faktor yang mempengaruhi, apakah seseorang akan menjadi putus asa atau tidak, yakni: kapasitas mental, sumber stres, dan lingkungan di sekitarnya. Makin besar kapasitas mental seseorang, orang tadi akan lebih mudah menyelesaikan persoalan hidup dengan lebih santai dibanding dengan orang yang kapasitas mentalnya kerdil.
Sedangkan untuk sumber stres, dipengaruhi oleh besar kecilnya stresor, intensitas, lamanya dan macam stresor tersebut. Makin besar dan spesifik, dan apabila dialami dalam waktu yang lama, akan terasa makin berat untuk ditanggungnya.
Berbagai Sumber Stres
Secara garis besarnya, terdapat beberapa sumber stres yang dapat memicu terjadinya putus asa, ialah:
Konflik; yaitu ketidak-mampuan memilih lebih dari dua macam tujuan atau harapan pada saat yang bersamaan. Misalnya, ingin berwiraswasta agar ekonominya mapan, tapi sekaligus ingin jadi pegawai negeri (PN), padahal bila menjadi PN, tidak akan mempunyai waktu lagi guna berwiraswasta. Contoh lain adalah konflik untuk memilih dua orang pacar yang keduanya memiliki kelebihan masing-masing karena; yang seorang cantik, kaya, tetapi IQ-nya pas-pasan, sementara yang lainnya pandai, baik hati, tapi kurang mampu dalam hal materi. Hal tersebut akan membuat bingung orang yang akan mengambil keputusan, karena memilih yang satu menyebabkan timbulnya kerinduan pada yang lain.
Tekanan; yaitu tuntutan untuk dapat melakukan sesuatu dengan baik atau sesuai dengan norma yang dianutnya. Misalnya tekanan dari keluarga untuk dapat hidup dengan mewah, sementara pendapatannya tidak mencukupi untuk mengikuti gaya hidup yang diinginkan itu. Cita-cita atau keinginan orang tua agar anaknya menjadi dokter, sementara si anak tidak menyukai berpendidikan di bidang kedokteran, juga bisa merupakan sumber stres.
Frustrasi; tidak mampu untuk mencapai tujuan atau cita-cita tertentu akibat terjadinya hambatan yang merintangi. Misalnya, mempunyai cita-cita menjadi pilot, padahal dia terhambat karena harus memakai kacamata, atau ingin berkuliah di disiplin ilmu Farmasi, akan tetapi ternyata mempunyai penyakit buta warna.
Krisis; yakni perubahan mendadak yang mempengaruhi kebiasaan hidup seseorang. Misal ditimpa bencana alam yang menghabiskan seluruh harta yang dimiliki, terjadinya kematian pasangan secara tiba-tiba, misalnya karena kecelakaan.
Dari beberapa penyebab tersebut di atas (konflik, tekanan, frustrasi, dan krisis), apabila terjadi berulangkali dan tidak dapat terselesaikan dengan baik, maka akan dapat menimbulkan perasaan putus asa.
Faktor lingkungan juga besar pengaruhnya. Misalnya lingkungan kerja, teman-teman, tetangga dan sebagainya, yakni apabila tidak kondusif, artinya lebih banyak memberikan perkataan, saran-saran atau perilaku negatif, akan menambah parah kondisi putus asa itu.
Jadi, keputusasaan akan lebih mudah timbul apabila seseorang itu mempunyai kapasitas mental atau kemampuan untuk menyelesaikan masalah secara buruk, mengalami berulang kali kegagalan mengatasi stresor dalam hidupnya, ditambah lingkungan yang tidak kondusif/ tidak mendukung.
Rasa Putus Asa dan Upaya Menolongnya
Untuk menolong orang dari kondisi putus asa, dibutuhkan kemampuan memotivasi yang baik. Biasanya dilakukan oleh konselor. Atau bisa juga dari para hamba Tuhan, maupun para profesional di bidangnya (Psikiater, Psikolog). Terdapat berbagai cara terapi, mulai dari CBT (Cognitive Behaviour Therapy), EMDR (Eye Movement Desinsitization and Reprocessing) , Hipnoterapi dan cara Psikoterapi lain, sampai dengan dengan obat-obatan.
Yang perlu diubah adalah kognisi dan emosi negatif yang diyakini oleh individu tersebut. Awalnya penderita diajak mengenali masalahnya, baik secara kognitif maupun emosi, bahkan dalam hubungan dengan perilakunya. Setelah menyadari dan mengenali permasalahan, penderita mulai diajak dialog untuk mencari kognisi dan emosi positif apa yang seharusnya ada dan perlu dilakukannya. Setelah menyadari, maka penderita dapat dituntun untuk mendapatkan kognisi, emosi bahkan perilaku yang diharapkan tersebut.
Dengan mengubah cara berpikir dan emosinya, diharapkan individu tersebut mempunyai perilaku dan emosi/perasaan yang optimistis, berpikiran positif. “Jangan lupa mengajarkan untuk selalu berharap pada Tuhan Yesus Kristus, karena di dalam Dia selalu ada jalan keluar.” ujar dr. Soetjipto, SpKJ. (as)
Catatan Redaksi:
– Umat Israel dalam perbudakan mengalami putus asa (Kel 6:9), – Daud di padang gurun juga pernah putus asa (Mazm 88:15), – Ayub dalam kesengsaraan menjerit putus asa (Ayub 23:16). Namun, Tuhan sanggup mengubah putus asa menjadi sukacita.[wic]