BETHANY.OR.ID – “ Sebelumnya, saya karyawan sebuah perusahaan pelayaran di kawasan Perak Surabaya. Kemudian saya mengundurkan diri dan membuka usaha sendiri di bidang jasa pengiriman, sampai hari ini”. Demikian Pdt.Lukas Lukman Widjaja mengawali kisahnya saat berbincang dengan Media Bethany di Sekretariat Gereja Bethany jemaat Ekklesia Puncak Permai, Surabaya, pada 4 Maret 2010.
Ramah dan akrab, begitu kesan reporter Media Bethany tentang sosok Gembala Sidang Gereja Bethany Jemaat Puncak Permai yang saat ini menjabat Korda Surabaya Sinode Gereja Bethany itu.
Bapak dua anak itu menuturkan, bagaimana dia dipanggil Tuhan secara khusus untuk melayani gerejaNya.
“ Pada 1987, anak sulung saya divonis dokter terkena kanker kelenjar getah bening”, ungkapnya. Anak yang diberinya nama Samuel Hadiwijaya kala itu berumur 4 tahun 3 bulan. Menurutnya, berbagai upaya dilakukan demi kesembuhan sang anak. Merasa upaya dokter kurang berhasil, dia pun pergi ke dukun dan segala macam bentuk pengobatan alternatif, sampai-sampai ke paranormal.
Rasa kasih sayang pada anaknya itu membuat dia membuka pintu rumah lebar-lebar untuk tim paranormal yang hendak melakukan penyembuhan. Tim itu lalu bersemedi selama tujuh hari, Lukman Widjaja juga ikut ritual tersebut. Menurut pengakuannya, tepat pada hari yang keenam, dia bisa “ngrogoh sukma” ( terasa roh keluar dari badan; istilah kebatinan) lalu bertemu dengan orang tua berjenggot, yang mengatakan, bahwa nasib kelaruga Lukman Wijaya tidaklah baik.
Di benaknya muncul pertanyaan, kalaulah nasibnya tidak baik, buat apa ritual tersebut diteruskannya. Dia pun mengambil keputusan untuk tidak melanjutkannya.
Salah seorang kerabat ketika mengunjunginya, memberikan saran agar dia pergi ke gereja Bethany. Sebenarnya, Lukman sudah menjadi Kristen, namun belum secara sesungguhnya bertobat. Lukman saat itu juga menolak saran tersebut. Namun, usai kerabatnya pulang, muncul gejolak dalam batinnya. “Orang gereja Bethany itu kok sombong benar.” gerutunya.
amun, pada hari-hari berikutnya di tahun 1987 itu, Lukman menjadi penasaran. Dia mencari lokasi gereja Bethany, tetapi tidak ditemukannya.
“ Saat itu saya dibutakan iblis. Ketika bertanya pada tukang becak pun, mereka juga tidak tahu, sehingga tidak menemukan lokasi gereja Bethany.” kenangnya.
Kemudian ditenangkan dirinya dan berdoa. Pada hari berikutnya mulai lagi mencari letak gereja Bethany, sampai pada akhirnya tibalah dia di kawasan Jalan Ngagel Jaya Selatan, Surabaya. Saat itu dia melihat panah-penunjuk ke arah Gereja Bethany. Dalam hatinya dia berkata, bukankah sudah dua kali lewat tempat itu, mengapa baru kali itu melihat penujuk arah tersebut. Lalu pergilah dia menuju lokasi gereja Bethany yang berada di Jalan Manyar Sindharu II/36-38 (sekarang Jl.Manyar Rejo II/36-38) Surabaya.
Minggu depannya, dia mengikuti ibadah di gereja tersebut, yang waktu itu pimpinan pujiannya ialah Pdt.Ir.Niko Nyotorahardjo. Pendeta tersebut mengajak jemaat mengangkat tangan dan menyembah. Lukman pun ikut mengangkat tangan. Pada saat berikutnya, dia dilawat Tuhan. Tangannya terasa ditarik ke atas dan kakinya di tarik ke bawah. “ Saya berteriak seperti anak kecil!” kenangnya.
Hatinya merasakan ketenangan dan penuh sukacita, walaupun saat itu sang buah hati divonis dokter hanya bertahan hidup selama enam bulan saja. Dia pulang dengan penuh rasa sukacita. Sesampainya di rumah, istrinya marah. Katanya, suaminya itu saat pergi ke gereja bersikap biasa saja, akan tetapi ketika pulang dari gereja ada hal yang dirasanya aneh. Suaminya itu tertawa-tawa sendiri. Kata isterinya, Lukman sudah gila.
Kemarahan isterinya itu tidak ditanggapinya dengan marah pula. Sebaliknya, dia mencoba menjelaskan tentang lawatan Tuhan yang dialaminya. Lalu dia berdoa, agar istrinya juga mendapatkan lawatan Tuhan. Saat itu di daerah Tanjung Perak dilakukan kegiatan rohani dengan nama “Perak Praise Center.” Bersama isterinya, keduanya mendatangi acara tersebut. Keduanya mengikuti kebaktian dengan khusyuk. Menurut pengakuan Pdt. Lukman, isterinya tiba-tiba dilawat Tuhan, sehingga menjadikan kegembiraan bagi mereka.
“ Sebelumnya kami diselimuti rasa takut, cemas dan kuatir. Namun setelah dilawat Tuhan, hati kami tenang dan penuh sukacita.” Ungkapnya.
Akhirnya, pada setiap hari Minggu mereka sepakat beribadah di Gereja Bethany Manyar. Membuka lembaran baru dan membuka hidupnya untuk Tuhan.
Tanpa disadari keduanya, lembaran baru kehidupannya itu merambah pada kesehatan Samuel, anaknya.
“ Tiba-tiba anak saya mejadi sehat. Bisa naik sepeda, pola makannya pun normal. Beberapa dokter yang menanganinya pun menyatakan, bahwa Samuel tidak boleh di-kemo (terapi pengobatan untuk penderita kanker). Atas kuasa Tuhan, anak saya sembuh!” Begitu kesaksiannya bersemangat.
Namun, di balik kesembuhan itu, tiba-tiba dirasanya bahwa Tuhan memilki rencana lain dalam kehidupan keluarga itu.
Dalam kondisi sehat sepulang dari kegiatan kerohanian, tiba-tiba Samuel mengatakan rasa sakit. Selama setengah jam anak itu merasakan kesakitan yang luar biasa. Lukman yang tak tahan melihat penderitaan anaknya, hanya bisa berdoa dan menyerahkan anaknya kepada Tuhan.
“Kalau mau mengambilNya, silakan ambil, Tuhan.” Pasrahnya kepada Tuhan. Akhirnya, Samuel menghembuskan nafas terakhir pada Januari 1988. Kematian anaknya membuat mereka berduka. Akan tetapi mereka tidak mau hanyut dalam suasana duka. Apalagi masih ada adik Samuel yang kala itu baru berusia 10 bulan.
Pada suatu waktu ketika mengikuti ibadah di Gereja Manyar, mereka mendengar Pdt. Abraham Alex Tanusepura di sela-sela khotbahnya bersaksi tentang anaknya yang lahir tidak seperti anak normal. Pendeta tersebut berkata, hal itu sebagai ujian. Kata “ujian” itulah yang terus terngiang di telinga Pdt. Lukman kala itu. Lalu dia mengambil keputusan untuk bersungguh-sungguh beribadah. “Tuhan, kalau melalui ujian ini aku lulus, aku minta ganti anak.” Begitu doa yang dinaikkannya.
Kisahnya kemudian: “Tuhan itu luar biasa. Saat saya minta seorang anak, Tuhan menambahkan tiga pemulihan dalam keluarga kami.” Katanya, dia mengalami kesembuhan ilahi, sebab kalau sebelumnya dia dinyatakan dokter menderita penyakit ‘jantung koroner’, akan tetapi dikarenakan jamahan Tuhan, dia disembuhkan.
“ Hubungan kami suami isteri makin harmonis. Ekonomi rumah tangga kami dipulihkan, dan kamipun mempunyai anak yang secara fisik wajahnya sama seperti anak kami yang meninggal.” katanya.
Usaha Sendiri dan Beri Pelayanan
Pada tahun 1996, Lukman mengundurkan diri dari perusahaan pelayaran tempat dia bekerja. Untuk mengundurkan diri dari perusahanan itu, dia harus menunggu selama empat tahun. Pimpinan perusahaan beberapa kali mempertahankannya, namun pada pengajuan yang keempat, dia diijinkan mengundurkan diri dengan syarat mesti terlebih dahulu bisa menjual dua buah kapal. Setelah dua kapal terjual dan memberikan pertanggungjawaban, Lukman pun dibolehkan mengundurkan diri.
Berdoalah dia:
“Tuhan, aku sudah tidak bekerja. Sekarang berikan aku pekerjaan.”
Hal itu dinyatakannya, sebab ingin membuka usaha sendiri. Dengan percaya diri, dia mulai melangkah. Dia mulai mendatangi seorang pengusaha yang dikenalnya, dan menawarkan kerja sama. Namun ketika ditanya berapa modal yang dimiliki untuk usaha tersebut, Lukman menjawab: “ Tidak ada. Saya hanya punya Tuhan Yesus. Itu modal saya.” Malahan dia ditanya tentang berapa usianya, yang dijawabnya 40. Rekannya nyeletuk: “gila.” Tetapi, disebabkan keduanya bersahabat, Lukman dipercaya untuk mengirim bidang pengiriman barang.
Akhirnya, pada awal 1997, dia mulai menjalankan usaha jasa pengiriman barang. Setahun usahanya berjalan, Indonesia mengalami badai krisis moneter. Banyak pengusaha yang bergelimpangan. Namun hal itu tidak mempengaruhi usaha Lukman. Justru saat itu usahanya mendapatkan keuntungan. Sebab ada dua perusahaan asing menyewa kapal yang dipercayakan kepadanya, di mana disepakati biayanya dihitung dengan nilai dollar. Dengan omset yang cukup besar itulah, akhirnya perusahaan jasa pengiriman yang dijalankannya tersebut sukses hingga sekarang.
Semua berkat yang didapatnya itu diakuinya diterima dari Tuhan. Karenanya dia tak pernah melupakan kebaikan Tuhan. Hal itu ditunjukkannya dengan khusyuk beribadah kepada Allah dan mulai terjun dalam pelayanan gerejani.
Dia mulai dipercaya menjadi diaken dan juga koordinator untuk cabang Bethany, yang kala itu bertempat di hotel Tunjungan dan Bethany Tanjungsari.
Karena tempat untuk beribadah di daerah Tanjungsari tidak memungkinkan lagi, akhirnya atas perintah Bethany pusat, tempat ibadah dipindahkan ke kawasan Puncak Permai, Darmo, Surabaya. Saat itu, Pdt. Lukas Lukman hanya selaku anngota pengurus biasa.
“ Saya bukan gembala. Saat itu yang menggembalakan ialah alm. pendeta Kresnadi” katanya. Namun seiring dengan berjalannya waktu, pendeta Lukas Lukman dipercaya Tuhan menggembalakan jemaat di Puncak Permai sampai dengan bersatus otonom hingga kini..
Bahkan dalam Sinode Gereja Bethany Indonesia saat ini, dia dipercaya sebagai Koordinator daerah Surabaya.
“Saya ini berlatar belakang orang berkarakter kasar.” ungkapnya. Waktu dipercaya Tuhan menjadi gembala, baginya tidaklah mudah. Dia wajib dituntut lembut dan ramah kepada semua orang. Namun berkat Roh Kudus semua itu bisa dilakukannya.
Ketika ditanya konduite tentang seseorang selaku hamba Tuhan, dia katakan, bahwa menjadi pendeta itu wajib memiliki gambar Yesus. “Warna dan gambar Yesus itu harus menjadi gaya hidup kita.” katanya. [wic]