BETHANY.OR.ID – Tiada bintang bersinar terang di atas desa Pennat, Wales, Inggris, pada 16 Desember 1784. Yang pasti, terdapat suasana sukacita di desa tersebut. Mengapa? Di rumah suami-isteri Jacob Jones, lahirlah bayi perempuan yang mungil. Suami isteri itu menerima bayi tersebut dengan penuh rasa syukur. Suatu anugerah dari Tuhan bagi keluarga buruh pabrik tenun yang hidup sangat sederhana itu. Keduanya memberi nama pada bayi mungil itu: Mary.
Keluarga Jones tergolong rajin beribadah pada setiap hari Minggu. Suatu hari, usai kebaktian Minggu, pak Jones dengan rajin menceritakan kisah-kisah Alkitab kepada putrinya itu. Ternyata, Mary kecil sangat menyukai cerita-cerita demikian. Saat sang ayah memangkunya dan menceritakan kisah-kisah Alkitab, Mary mendengar dengan penuh perhatian. Matanya berbinar-binar.
Cerita-cerita Alkitab itu meresap ke hati Mary. Ia bahkan hafal beberapa cerita tersebut. Di antaranya kisah tentang Abraham, Yusuf, Daud, dan Daniel. Pada usia 8 tahun, Mary mulai merindukan memiliki Alkitab dan membaca sendiri cerita-cerita di dalamnya.
Namun Mary sadar, bahwa orang tuanya tidak memiliki uang yang cukup untuk membeli Alkitab. Saat itu, harga Alkitab sangat mahal. Di desa sunyi tempat tinggalnya yang letaknya terpencil pada lereng Gunung Cadir, Teluk Cordingen, tak ada orang yang menjual Alkitab.
Apakah Mary menyerah pada ketidakmampuan orangtuanya? Tidak.
Tekadnya tidak luntur. Malahan keinginannya menjadi semakin kuat. Mulailah dia menabung. Ia bekerja apa saja agar mendapat uang. la memelihara ayam dan mengumpulkan telurnya untuk dijual. Juga memelihara lebah untuk memperoleh madunya. Di samping itu, bersedia mengantar jahitan langganan ibunya tanpa mengeluh.
Pada suatu malam, ibu Jones menyuruh Mary meminjam lentera ke rumah tetangga. Kendati jaraknya jauh, Mary mematuhi perintah ibunya. la berpikir, bahwa ayah dan ibunya akan mengikuti kebaktian malam. Ketika pulang, bertanyalah dia kepada mereka:
“Ayah dan Ibu akan ke kebaktian malam, bukan?”
“0h, tidak, nak. Kali ini, ayah tidak dapat ikut. Tetapi, ada orang lain yang akan menemani ibu,” jawab sang ibu sambil tersenyum.
“Aku?” teriak Mary: “Aku boleh ikut ke kebaktian malam, bu?” Mary gembira sekali karena diajak ikut ke kebaktian malam di rumah keluarga Evans.
Perjalanan ke rumah Evans membutuhkan waktu kurang lebih setengah jam. Di malam dalam terpaan angin kencang, Mary menjaga agar lenteranya tidak padam.
“Untung lenteranya tidak padam, ya, bu,.” kata Mary: “ sehingga kita dapat melihat jelas keadaan jalan.”
“Iya, nak. Tetapi sesungguhnya ada sumber terang yang jauh lebih berguna bagi kehidupan kita,” jelas ibunya.
“Apa itu, bu?” tanya Mary.
“Firman Allah, Mary. Firman Allah adalah pelita bagi kaki kita dan terang bagi jalan kita.” kata sang ibu. Lanjutnya: “Artinya, Firman Allah itulah penuntun jalan hidup kita dan penerang bagi pikiran kita.”
Hati Mary berdebar-debar. Firman Allah di Alkitab! Kerinduan untuk membaca Alkitab pun terasa makin kuat.
Setiba di rumah keluarga Evans, Mary bergabung dengan beberapa keluarga lain. la mengikuti kebaktian malam dengan sopan dan tertib. Pak Evans menjadi kagum melihat anak seusia Mary dapat mengikuti kebaktian tanpa merasa bosan atau gelisah.
Ibu Evans mengungkapkan kekagumannya tentang Mary kepada ibu Jones, di saat keesokan harinya berkunjung ke rumah Mary untuk membeli telur. Pada kesempatan itu, ibu Jones menceritakan keinginan Mary guna memiliki Alkitab.
Setelah mengetahui kerinduan Mary untuk memiliki Alkitab, berkatalah ibu Evans:
“Mary, aku mempunyai sebuah Alkitab. Kamu boleh datang ke rumahku untuk membaca isinya, jikalau kamu sudah dapat membaca. Sayang, rumahku agak jauh.”
“Setengah jam perjalanan tak jadi masalah bagi saya, nyonya,” kata Mary. Tetapi, wajahnya tiba-tiba berubah muram.
Bukan karena letak rumah keluarga Evans yang jauh, melainkan dia belum bisa membaca. Masalahnya, di desa Pennat tidak ada sekolah, sehingga meskipun Mary sudah berusia 8 tahun, belum bisa membaca satu huruf pun.
“Jangan putus asa, Mary. Allah tidak akan mengecewakan orang yang mau datang kepada-Nya,” kata nyonya Evans menghibur. Hati Mary kembali dikuatkan. Malam itu dia berdoa:
“Tuhan, kalau Tuhan mengabulkan permohonan saya untuk dapat membaca dan memiliki Alkitab sendiri, saya berjanji akan menyerahkan hidup saya kepadaMu untuk menyampaikan berita keselamatan bagi setiap orang, ke mana saja Tuhan mengutus saya.”
Dua tahun berlalu. Mary terus menabung. Sementara itu, ayahnya berulang-ulang mengajukan permohonan kepada pemerintah, agar di desanya didirikan sekolah. Akhirnya, dambaan penduduk desa itu menjadi kenyataan. Sekolah dibuka di Pennat, sekaligus didatangkan pula gurunya.
Dengan gembira Mary berjalan kaki ke sekolah, walaupun harus berjalan selama setengah jam. Ia juga tidak melalaikan tugasnya memelihara ayam serta tugas-tugas lainnya. Ketekunan belajar menyebabkan Mary mendapatkan nilai tertinggi.
Kemampuan membaca dengan lancar dan tanpa salah, mendorong keinginan gadis itu untuk membaca Alkitab semakin kuat. Keinginan itu akhirnya menjadi kenyataan, ketika ibu Evans mengundang Mary ke rumahnya untuk membaca Alkitab. Setiap hari Sabtu, dia berkunjung ke rumah Evans dan membaca Alkitab. Sebagian kerinduannya pun terpenuhi.
Mary membuka halaman-halaman Alkitab dan menemukan ayat-ayat yang sangat berharga. Bersamaan dengan itu, keinginan memiliki Alkitab semakin bergelora. la menambah pekerjaannya dengan menjaga anak tetangga, agar bisa lebih banyak lagi mengumpulkan uang. Masih juga menerima pekerjaan untuk menambal pakaian. Bahkan, dia masuk ke dalam hutan untuk mencari kayu bakar, kemudian menjual ke tetangga yang memerlukan.
Kendati sudah bekerja keras, Mary menghadapi kenyataan, bahwa uangnya belum cukup untuk membeli Alkitab. la terus berdoa agar keinginannya bisa terkabul. Suatu hari, ketika gadis itu mengantar jahitan baju ke rumah ibu Evans, dia menerima upah dalam jumlah yang lebih banyak dari biasanya. Dengan gemetar, Mary menggenggam uang itu dan berlari pulang. Upah yang banyak itu menyebabkan uang tabungannya cukup untuk membeli Alkitab.
Tiba di rumah, Mary melompat-lompat gembira dan memberitahukan hal tersebut kepada orang tuanya. Ayahnya terkejut mendengar tabungan yang banyak milik anaknya. Sang ayah tidak menyangka, bahwa Mary bisa memiliki uang untuk membeli Alkitab atas usahanya sendiri. Dengan terharu sang ayah memberitahukan, bahwa di kota Bala, sekitar 41 kilometer dari desanya, Mary bisa membeli Alkitab.
Tak berlama-lama lagi, Mary menyatakan niatnya pergi ke kota Bala. Keesokan harinya, saat masih pagi, keluarga Jones menikmati sarapan pagi. Mary makan lebih banyak, sebab ia akan melakukan perjalanan jauh. la harus berjalan kaki untuk membeli Alkitab yang sudah begitu lama menjadi dambaannya.
Ibunya membekali Mary dengan beberapa potong roti, pakaian, dan sepatu. Uang untuk membeli Alkitab dibungkus dalam kantung kain dan talinya dikalungkan di leher. Alamat yang menjadi tujuan Mary di Bala, disimpan dalam lipatan pakaiannya.
Sebelum melepas kepergian Mary, mereka sekeluarga berdoa. Mereka memohon pertolongan agar Tuhan memberkati perjalanan Mary. Dan mulailah perjalanan yang melelahkan. Mary menjinjing sepatunya karena ia lebih suka berjalan tanpa sepatu. Dengan kaki telanjang, langkahnya akan menjadi lebih cepat di jalan yang berbatu-batu. la tiba di Bala menjelang malam hari. la mengeluarkan alamat pendeta yang harus didatanginya.
Walaupun badannya letih, muka berdebu, dan kaki penuh luka goresan batu tajam, dia tak juga berhenti. Dia bertekad malam itu dapat sampai di rumah Pendeta David. Akhirnya dia pun tiba di rumah sang pendeta. Dengan menguatkan diri, ia mengetuk pintu rumah Pendeta David. Setelah ia memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud kedatangannya, Mary mohon pertolongan Pendeta David untuk mengantarkannya ke rumah Pendeta Charles.
“Wah, ini sudah larut malam, nak. Saat begini, pak Pendeta Charles sudah tidur.” kata Pendeta David. Sambungnya: “Mary, sebaiknya kau meng¬inap dulu di sini. Esok pagi-pagi sekali, aku antar kau ke Pendeta Charles.”
Sebenarnya, Mary sudah sangat ingin untuk dapat memeluk Alkitab yang menjadi miliknya, akan tetapi dia harus bersabar menunggu sampai esok pagi. Malam itu, Mary memanjatkan syukur, akhirnya tertidur lelap karena perjalanan kaki yang meletih¬kan.
Keesokan harinya, Pendeta David mengantar Mary ke rumah Pendeta Charles. Mary memperkenalkan diri dan menjelaskan keinginannya membeli Alkitab. Dengan hati berdebar-debar, disodorkannya sekantung uang hasil tabungannya kepada Pendeta Charles. Alkitab yang bertahun-tahun dirindukan itu, akan segera didekap di dadanya.
Namun, Mary bingung melihat sikap Pendeta Charles yang termenung sesudah mendengar penjelasannya. Ternyata, Pendeta Charles hanya memiliki satu Alkitab. Itu pun sudah lama dijanjikan untuk orang lain. la tidak dapat memberikan Alkitab itu kepada Mary. Dengan berat hati, ia berkata kepada Mary:
“Nak, sayang sekali. Alkitab yang ada padaku itu hanya satu. Itu pun sudah aku janjikan kepada seseorang. Jadi, aku tidak dapat memberikan kitab itu kepadamu.”
Mary seolah tak percaya akan apa yang didengarnya. Tubuhnya terasa lemas. Serta merta air matanya mengalir di pipi. Dengan terisak-isak, dia memohon:
“Tolonglah saya, pak.” Pendeta Charles terdiam untuk beberapa saat. la tidak segera menjawab permohonan yang mengibakan hati itu. Mary mengulangi permohonannya. Air mata mengalir semakin deras. Hatinya hancur, harapannya kandas. Seluruh perjuangannya itu kini terasa sia-sia. Pendeta Charles pun tetap berdiam diri. Mary pun menangis tersedu-sedu sambil menelungkupkan tubuh di kursi.
Melihat keadaan gadis yang sangat sedih itu, Pendeta David dan Pendeta Charles merasa tidak sampai hati. Keduanya saling berpandangan. Akhirnya, Pendeta Charles mendekati gadis itu sambil berkata: “Mary, dengar dulu, ya nak. Aku memang hanya mempunyai persediaan satu Alkitab berbahasa Wales. Sebetulnya, aku tidak boleh memberikannya padamu. Aku telah berjanji untuk memberikannya pada orang lain. Tetapi, sekarang aku tahu, bahwa kamulah yang layak mendapat Alkitab itu.”
Spontan Mary mengangkat mukanya. Dia tercengang mendengar perkataan Pendeta Charles. Benarkah Alkitab itu akan menjadi miliknya? Mary masih tak percaya. Air mata haru kembali mengalir dari matanya. Dia baru menjadi yakin, ketika Pendeta Charles mengambil Alkitab dan menyerahkan kepadanya.
Setelah menerima Alkitab, Mary mendekap Kitab Suci itu ke dadanya. Dengan suara serak, berucaplah dia:
“Terima kasih, pak. Terima kasih, terima kasih.”
Gadis itu mengusap-usap Alkitab yang baru diterimanya.
“Apakah saya boleh pulang, pak?” tanya Mary.
“ Tunggu dulu, Mary. Aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepadamu, untuk mengetahui apakah kamu betul-betul menyenangi Alkitab,” kata Pendeta Charles. Kemudian, pendeta menanyakan tentang isi Alkitab kepada Mary. Dengan tepat, setiap pertanyaan dijawab oleh gadis itu. Kedua pendeta itu menjadi kagum akan kecerdasan gadis tersebut.
Akhirnya, Mary pamit untuk kembali ke rumahnya. Sejak saat itulah, Mary setiap hari membaca dan mempelajari isi Alkitab dengan bersungguh-sungguh. Dia juga mengunjungi rumah-rumah di sekitarnya dan menceritakan tentang Firman Allah yang dia baca di Alkitab. Banyak orang menerima Tuhan Yesus menjadi Juruselamat karena penginjilannya.
(diringkas dari Buku “Sowing The Word In The Archipelago, LAI 2004/aw/as)
Comments are off for this post