KESAKSIAN,BETHANY.OR.ID,-Merasa sakit yang dialaminya cukup berat. Jantung, ginjal dan paru-parunya tertekan kuat oleh janin yang dikandungnya. Pada hal, usia kandungannya baru enam bulan. Sedihnya lagi, dia susah bergerak, sebab perut yang mengandung janinnya lebih besar dari tubuhnya. Dia merasa tidak kuat lagi, dan mulai merasa kesulitan untuk bernafas, sehingga harus dibantu menggunakan tabung oksigen. Akhirnya dokter melakukan operasi caesar dan berhasil. Apa yang dikisahkannya itu dialaminya lima tahun lalu, saat dia hendak melahirkan Maria Gabriella Handoyo, putri pertamanya di RSAB Harapan Kita, Jakarta.
Ibu dengan tinggi hanya 74 cm itu merasakan pertolongan Tuhan yang luar biasa. Apa yang dialaminya itu tidak lepas dari penyertaan Tuhan. Sebab, dekat dengan Tuhan diakui itulah yang menjadi kekuatannya.
Empatpuluh tahun silam, Louisa Bernadette Indrawati dilahirkan di Mojoroto, kota Kediri, Jawa Timur. Kedua orang tuanya, Andreas Sukardji Kusno dan Maria Magdalena Sriyati, tidak menduga bahwa anak sulung mereka lahir dengan kelainan fisik. Namun kelahiran gadis itu tidak pernah disesali Andreas, yang kala itu bekerja di kantor Kejaksaan Kediri. Malahan dengan rasa syukur dan sabar, bersama isterinya membesarkan Louisa . Gadis itu dididik sama seperti halnya mendidik anak yang berfisik normal. Louisa diperlakukan sama seperti keenam anaknya yang lain. Tidak ada perlakuan khusus baginya. Hal itulah yang kelak mendorong kepribadiannya bertumbuh sehat dan kuat.
Masa Sekolah
Louisa sendiri baru menyadari kekurangannya ketika dimasukkan ke taman kanak-kanak. Usianya baru lima tahun. Saat itulah dia merasakan ada sesuatu yang berbeda dengan dirinya, yakni tatkala melihat teman-temannya bertubuh lebih tinggi darinya. Dia merasakanada hal-hal yang aneh. Namun sang ibu terus memberikan semangat dan dorongan.
Pergumulan dalam jiwanya begitu kuat. Ditambah mengalami hal-hal yang menyulitkannya, terutama saat mendaftar ke sekolah dasar. Dia merasa dibedakan ketika ditolak oleh salah satu sekolah dasar di kota Kediri. Karena penasaran, Louisa memberanikan diri bertemu dengan kepala sekolah tersebut, dan langsung bertanya mengapa dia ditolak di situ, pada hal dia juga ciptaan Tuhan. Begitu kenangnya.
Louisa kemudian didaftarkan pada sekolah lain yang mau menerimanya. Mendengar hal itu, Louisa merasa sangat senang. Terlebih lagi sekolah itu memiliki fasilitas yang lebih bagus. Tahun-tahun pertama dia diantar dengan sepeda motoroleh ayahnya. Namun setelah itu berganti becak sebagai transportasi baginya. Belajar dan canda ria dilaluinya bersama-sama teman-temannya di Sekolah Dasar Katolik “Santa Maria”, Kediri. Berkat dukungan dari orang tua, para guru dan rekan-rekannya di sekolah itu, menjadikan kepribadiannya makin bertumbuh.
Lulus dari sekolah dasar, dia melanjutkan sekolah di SMP dan SMA di Jakarta, mengikuti orang tua yang saat itu pindah dinas.
Walau fisiknya tergolong ‘abnormal’, tetapi dia tumbuh menjadi seseorang yang berpribadi luar biasa. Nilai rapornya selalu bagus. Sekurang-kurangnya sering berperingkat tiga besar di kelasnya. Dia sangat bersyukur memiliki teman-teman yang mendukungnya. Teringatlah dia, bahwa sesekali dalam gurauan dia digendong kawan-kawannya. Pada saat praktikum di laborartorium Fisika, teman sekelasnya sering menolong. Keterbatasan fisik tidak menjadikannya berkecil hati. Justru semakin memacu diri untuk berprestasi.
Meskipun orang tuanya menyediakan mobil angkutan antar jemput,akan tetapi ke atau dari sekolah, gadis itu lebih memilih menggunakan angkutan umum. Menurutunya, hal itu dilakukannya karena dia bisa bertemu dengan orang banyak dan mendapatkan pengalaman.
Selepas SMA, Louisa kuliah pada studi ilmu hukum di sebuah universitas. Itu mengikuti nasehat ayahnya yang kebetulan bekerja di kantor Kejaksaan. Namun, pada saat yang bersamaan dia secara diam-diam berkuliah pada program D-3 Komputer. Itu dikarenakan dia menyukai bidang komputer. Jadi, usai lulus kuliah,– baik sebagai sarjana S-1 Hukum dan sekaligus dari Program D-3 Komputer, dia diterima bekerja di sebuah perusahaan komputer sebagai programer.
Alkitab Yang Terjatuh.
Bulan Desember 1999 bagi Louisa merupakan bulan yang tak terlupakan. Saat itu dia mengambil cuti tahunan bersama anak perempuan yang dinamainya Ros hasil diadopsinya, ke pulau Bali. Sepertinya kebiasaannya, Alkitab selalu bersamanya. Sebab menurutnya, Firman Tuhan itu memberi kekuatan pada hidupnya. Apalagi orang tuanya selalu mendorong untuk berpikir yang positif. Pikiran demikian menurutnya hanya didapatkan dalam kebenaran Firman Tuhan. Saat asyik menikmati perjalanan, dia tidak menyadari kalau Alkitabnya terjatuh dari kursi pesawat yang ditumpanginya. Seorang lelaki, Handoyo, yang saat itu baru saja dari toilet memungut Alkitab yang terjatuh dan memberikannya pada Louisa.
Namun bukan ucapan terima kasih yang didapat Handoyo. Melainkan wajah yang cuek dari wanita itu. Hal itu dilakukan Louisa bukannya tanpa alasan.
“ Saya saat itu tidak mau mengenal lelaki, apalagi jatuh cinta. Saya tidak mau disakiti. Saya tahu diri dengan keadaan fisik saya”. Demikian tuturnya kepada Tabloid. Namun dugaannya itu salah. Dengan ramah pemuda itu berkata: “ Jadi orang Kristen kok sombong.” Perkataan itu membuat hati Louise tersentak, lalu berkata kepada pemuda itu:, “Thanks.”
Akhirnya mereka berkenalan. Setelah ngobrol agak lama, merekapun bertukar nomor HP dan juga alamat rumah. Saat itu keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu ke pulau Bali. Hanya saja, Handoyo yang tinggal di kota Surabaya bukannya untuk berlibur, melainkan dalam perjalanan bisnis.
Sepanjang perjalanan di dalam pesawat , mereka makin akrab. Saat berlibur di Bali pun , Handoyo pernah sekali menyempatkan diri berkunjung ke tempat Louisa.
Perkenalan tersebut tidak hanya berhenti sampai di situ. Saat Louisa pulang ke Jakarta, dan Handoyo ke Surabaya, fasilitas seperti HP dan Internet mendekatkan hubungan mereka. Lama-lama mereka menjadi sahabat karib. Hal itu berlangsung hingga selama empat tahun.
Lamaran Tak Terduga
Di sela-sela percakapan, Louisa seringkali mendorong Handoyo untuk menikah. Tentu saja bukan dengan dirinya. Sebab Louisa menyadari keadaan fisiknya.
Akan tetapi justru sebaliknya. Tanpa dinyana sama sekali oleh Louisa, pada tahun keempat itu, Handoyo datang ke Jakarta untuk melamarnya. Hal yang sangat mengagetkan Louisa. Namun, bukannya dia senang, akan tetapi dengan tegas menolak lamaran itu. Sikapnya itu bukan tanpa alasan. Dalam hatinya, dia merasa tidak layak, juga hatinya tidak mau disakiti. Pikirnya, untuk satu dua tahun ke depan tidak masalah. Namun bagaimana selanjutnya. Dia sadar akan keadaan dirinya. Bagaikan gayung bersambut, orang tua Louisa pun juga menolak maksud Handoyo.
Akan tetapi, ternyata Handoyo tidak menyerah. Untuk kedua kalinya dia mengajak orang tuanya dari Surabaya guna melamar Louisa yang saat itu tinggal bersama orang tuanya di kawasan Meruya, Jakarta. Orang tua Handoyo langsung berubah pikiran, ketika melihat fisik gadis yang hendak dilamar anaknya. Handoyo harus kecewa, sebab niatnya melamar pun ditolak oleh orang tuanya sendiri. Sejak saat itulah, Louisa berusaha menjauhi Handoyo. Sms, telepon, chatting dari pemuda Surabaya itu tidak dijawabnya.
Keyakinan pada Tuhan.
Namun, nampaknya Handoyo benar-benar berniat serius. Dia pun maju lagi. Setelah berjuang selama sembilan bulan, akhirnya hati Louise pun luluh. Dia menerima lamaran Handoyo, meskipun orang tua kedua belah pihak angkat tangan.
Orang tua Louisa mengatakan, bahwa pernikahan mereka beresiko. Kalau terjadi sesuatu, maka mereka harus menanggung sendiri akibatnya. Demikian pula orang tua Handoyo, tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak melarang dan juga tidak menyetujuinya.
Mereka berdua ternyata bertekad untuk menikah , walau dengan biaya sendiri. Begitulah akhirnya, setelah mengikuti katekisasi pra-nikah selama tiga bulan, mereka diberkati sebagai pasangan suami isteri di sebuah Gereja di Jakarta pada 2004. Pernikahan itu akhirnya dihadiri orang tua Louisa, sementara orang tua Handoyo tidak hadir, dan hanya diwakili salah satu keluarganya.
Dua bulan setelah menikah, Louisa hamil. Akan tetapi kala itu saat dia menyadari kalau diriya hamil, malah mempunyai kesukaan meminum jus durian. Hal yang tak lazim dikonsumsi oleh wanita hamil. Melihat perubahan dalam dirinya, dengan didampingi suaminya memeriksakandiri ke dokter. Hasil pemeriksaan menyatakan, bahwa Louisa hamil. Dokter kemudian memberikan pertimbangan medis, bahwa kehamilan Louisa beresiko. Dokter menyarankan agar kehamilan itu diurungkan, resiko seperti cacat fisik bagi janinnya, dan juga resiko bagi kesehatan bagi ibu yang hamil itu cukup tinggi. Dokter itu memberi waktu untuk mereka berpikir.
Setelah pikiran suami isteri itu bergumul beberapa hari, Louisa bersama suami memutuskan untuk tetap meneruskan keinginan mereka memiliki momongan. Louisa berkeyakinan, bahwa Tuhan sanggup menolong dan memberikan keajaiban baginya. Dokter pun hanya bisa memberikan saran.
“Bulan ketiga dan keempat tidak ada gangguan yang berarti. Namun, memasuki bulan yang kelima, saya harus dirawat di rumah sakit, sebab perut saya lebih besar dari badan saya sendiri. Saya tidak bisa bergerak, bingung, dan susah untuk bernafas.” Begitu kisahnya pada Tabloid.
Dokter pun memberi bantuan oksigen untuk pernafasan.
Ketika kandungannya memasuki usia 6 bulan, Louisa makin tersiksa. Jantung, ginjal dan paru-parunya miring ke kanan dan ke kiri karena desakan janinnya yang semakin besar.
“ Saya sudah tidak kuat dengan keadaan itu, sehingga saya minta dioperasi saja.” kisahnya.
Stress pun mulai melanda. Apalagi ketika sorotan kamera dari media elektronik , cetak dan radio yang diarahkan kepadanya. Sebab, kehamilannya menjadi bahan berita media televisi se Indonesia.
Namun, pada akhirnya keajaiban dialaminya. Proses kelahiran lewat operasi caesar yang penuh resiko itu dilewatinya. Bayinya sehat dan normal. Panjangnnya 41 cm dengan berat 1,65 kg. Dikarenakan sebagai bayi-prematur, maka dimasukkan ke incubator selama 20 hari.
“ Suatu hari setelah persalinan saya mengalami mukjizat, asi saya keluar. Bahkan berlimpah. Dan ketika saatnya pulang, asi saya masih 12 botol untuk dibawa pulang.” kata ibu itu. Sambungnya: “ Anak kami tumbuh dengan cepat. Bahkan tubuhnya lebih gede dari saya. Benar-benar anak yang normal tubuhnya.”
Saat itu, MURI (Museum Rekor Indonesia; red.) pun mencatat , bahwa Louisa adalah wanita pertama dengan tubuh 74 cm yang berhasil melahirkan. Yakni puteri yang diberinya nama Maria Gabriella Handoyo.
Tuhan sediakan
Setelah pulang dari rumah sakit, bukannya berarti persoalannya selesai. Keluarga itu harus menanggung biaya rawat inap selama tiga bulan di ruang VIP. Ketika ditanya Tabloid, Louisa menyebutkan biaya yang cukup besar, yakni sekitar 170 juta rupiah.
Bersama suami, Louisa berdoa dan percaya, bahwa Tuhan Yesus sanggup mengadakan.
“ Kami hanya mengandalkan Tuhan” ungkapnya. Sambungnya: “ Bisnis suami saya diberkati, sehingga kami membayar biaya rumah sakit itu. Ada sisanya yang kami gunakan untuk mengontrak rumah dan juga membeli mobil untuk keperluan sehari-hari.”
Saat ini mereka sudah memiliki rumah sendiri. Anaknya pun berusia 4 tahun. Kisah Louisa, memang diterimanya beberapa pertanyaan dari anaknya yang pernah disampaikan kepadanya. Antara lain, mengapa mama nggak tumbuh gede, kapan mama gedenya? Louisa menjawab, bahwa “mama bisa gede kalau sudah di sorga.”
Pertanyaan-pertanyaan yang pernah diterimanya antara lain: “ Mengapa mama nggak ke sorga saja supaya gede.” Ketika dijelaskannya, bahwa ke sorga itu artinya mati, ganti dia bertanya pada anaknya: “ Apa mau mama mati?” Anaknya menjawab: tidak mau, sehingga lama-kelamaan sianak itu mengerti.
“Dia mulai menerima keadaan saya dan bangga dengan keadaan saya. Saya rindu anak saya bisa berbakti kepada Tuhan dengan bersungguh-sungguh. Saat ini, anak saya mulai saya ajari untuk melayani Tuhan. Dia memuji Tuhan dengan bahasa Inggris, kadang Mandarin.” katanya. Lalu berkesanlah Louisa:
“ Dua setengah tahun lalu saya lebih dekat lagi dengan Tuhan. Dia menyuruh saya untuk melayani, akan tetapi sempat saya menolak, sehingga diperingatkanNya dengan cara mundurnya bisnis suami sehingga merugi ratusan juta rupiah.” Sambungnya:
“ Akhirnya saya masuk pelayanan , melalui masuk sekolah teologi, walau tidak lancar karena keadaan. Saya ajari anak saya membaca Alkitab dan mengandalkan Tuhan. Akhirnya saat ini kami memberi pelayanan di WBI, pujian , firman dan kesaksian.[sumber:tabloidbethany]