BETHANY.OR.ID – Dalam Mazmur 8:1-10 ditulis, saat Daud memindahkan Tabut Perjanjian dan harus menginap di Obed Edom, dikarenakan pada saat itu ia tidak mengerti bagaimana cara untuk membawa dan memindahkan Tabut. Sebab itu, Daud mengangkatnya dengan menggunakan kereta. Padahal, menaruhnya di kereta itu bukanlah cara yang dikehendaki Tuhan. Namun begitulah yang terpikirkan oleh Daud. Akibatnya fatal. Perez dan Usa meninggal ketika berusaha menyelamatkan tabut saat kereta pengangkutnya oleng. Peristiwa tersebut sempat membuat Daud jengkel dan marah. Dalam mengalami keadaan yang sama, kita pun barangkali juga bersikap demikian.
Bila dikaitkan dengan keadaan diri saya, bahwa saya mengawali pelayanan di Gereja Bethany pada tahun 1997. Namun saya hanya berada di belakang layar. Saya aktif dalam pembangunan gedung gereja dan manajemen gereja. Tetapi saya tidak pernah berada di atas mimbar untuk berkhotbah.
Pada tahun 2000, ada ‘gesekan’ dalam pelayanan. Emosi saya meledak dan saya marah. Saya ambil senjata dan melakukan sesuatu yang memalukan. Sebagian jemaat yang beribadah di Gereja Bethany yang tahu hal itu, tentu saja menjadi kecewa. Mungkin mereka beranggapan “Gereja Bethany kok seperti itu”. Namun itulah yang pernah saya lakukan.
Saya merasa tidak layak masuk dalam pelayanan. Saya sangat emosional pada saat itu. Saya sempat memukul dan menendang. Malahan saya marah pada Tuhan dan meninggalkan pelayanan. Saya menggerutu: “Kalau seperti ini, percuma saya melayani Tuhan,….” Itu sebabnya, saya keluar dari kegiatan pelayanan. Meskipun dalam kondisi marah demikian, ternyata keuangan saya tidak mengalami perubahan. Semua tercukupi. Saya pun bekerja seperti biasanya. Mau apa lagi? Namun, tujuh bulan kemudian, karena saya terus menerus memendam rasa marah, saya mengalami depresi yang sangat berat.
Ternyata ada sesuatu yang tidak bisa saya tanggung.
Pada minggu-minggu pertama saya kepingin mati. Saya merasa sudah punya semua, jadi untuk apa saya hidup? Karena amarah, saya jatuh pada posisi yang paling bawah.
Pada tahun 2003, saat ada doa pengerja, saya datangi ayah saya dan minta maaf. Apa yang terjadi itu adalah salah saya.
Di depan mimbar saya katakan, saya mohon maaf atas apa yang saya lakukan.
Saya pikir saya menjadi sembuh, tetapi ternyata tidak juga. Saya minumi obat penenang, tidak juga sembuh.
Akhirnya saya membaca firman. Saya kembali beribadah. Kembali kepada Tuhan.
Saat itu yang saya baca hanya kitab Mazmur. Pada pagi harinya saya datang ke rumah Pak Alex, ayah saya, minta didoakan. Demikian juga sore hari saat mau tidur.
Karena dalam kondisi depressi, saya tidak bisa bekerja sama sekali. Kondisi demikian berlangsung hingga satu tahun. Dalam keadaan seperti itulah muncul pertanyaan dalam diri saya: “apakah saya masih layak untuk melayani?”
Akan tetapi Tuhan itu baik. Saya pikir saya sudah’ terhilang’, namun pada kenyataannnya, Tuhan tetap memanggil. Siapakah kita?
Dalam keadaan apapun, Tuhan selalu mau menyertai. Kalau pada saat ini saya bisa melayani, itu dikarenakan Tuhan. Saya tidak mampu berbicara di depan umum. Saya tak pandai bicara dan berbicara secara terbatas. Namun saya mau melangkah dan terus melangkah bersama Tuhan.
Bagaikan pada setiap pertandingan, bukannya dinilai dari langkah awalnya, tetapi pada langkah akhirnya, yakni kita finish di mana. Mungkin saya masih tertinggal. Akan tetapi, saya terus memandang ke depan, yaitu kepada tujuan yang disediakan oleh Tuhan. Siapakah saya, namun begitu baiknya Tuhan, meski saya tak mampu, tetapi Tuhan mampukan diri saya, sehingga saya menjadi sadar, siapa diri saya.
Mazmur 8:7-10 menyatakan: “Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya: kambing domba dan lembu sapi sekalian, juga binatang-binatang di padang; burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut, dan apa yang melintasi arus lautan. Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya namaMu di seluruh bumi!”
Kalau kita mengingat pemeliharaan Tuhan atas diri kita itu sebagai hal yang luar biasa. Tak ada kekurangan di antara kita, karena Tuhan mencintai kita. Karena begitu besar kasihNya. Ia turun dalam dunia, untuk melayakkan kita yang dulunya tidak layak. Karenanya, hendaklah kita ingat kebaikanNya. Dengan apa kita membalasnya? Hormati dan muliakan namaNya dengan segenap hati. Sebab Tuhan memperhatikan kita seperti biji mataNya.[sumber: Kotbah Pdt. Aswin Tanuseputra/jaw]