“…… dan orang-orang yang bersungut-sungut akan menerima pengajaran” (Yesaya 29:24).
Ada cerita tentang tiga orang petualang sedang mencari harta karun di hutan Amazon yang konon terkenal angkeran. Setelah berhari-hari menelusuri tempat yang dimaksud, mereka belum juga menemukan harta karun. Bekal makanan mereka habis. Dalam keadaan lapar, mereka ditangkap segerombolan penduduk primitif yang dikenal kanibal. Mereka dihadapankan kepada kepala suku. “Kalian beruntung,” kata kepala suku, “Kemarin kami menang perang melawan suku lain, jadi stok daging kami masih banyak. Karena itu kami tak akan membuat “daging goreng tepung” dari tubuh kalian. Tapi menurut adat kami, kalian akan bebas bila mampu membawa buah buahan dari sebanyak 10 buah. Dan buahnya harus sama! Setelah itu kami akan beritahukan syarat selanjutnya.”
Merekapun gembira, karena ada harapan untuk hidup. Mereka pergi ke hutan mencari 10 buah yang sama dengan pengawasan ketat. Akhirnya si A menemukan 10 biji buah salak, si B menemukan 10 biji buah nanas, dan si C hanya menemukan 10 biji buah ceri hutan. Si A dan si B berjalan dengan mantap, karena buah-buah itu pasti menyenangkan sang kepala suku. Namun si C bersungut-sungut, “Tuhan, mengapa aku cuma dapat ceri hutan ini? Jangan-jangan kepala suku tidak mau menerima buahku ini, lalu aku dipancungnya.” Sepanjang perjalanan ia terus menggerutu dan mengomel. Lalu tibalah mereka di hadapan kepala suku. “Sekarang dengarkan syarat berikutnya. Siapa yang dapat menelan semua buah itu bolehlah pergi dari sini,” kata kepala suku. Akhirnya yang lolos cuma satu – si pembawa buah ceri hutan (soalnya buahnya kecil!).
Ilustrasi sederhana ini memberikan pengertian kepada kita, bahwa banyak orang menggerutu tanpa sebab. Ada-ada saja bahan untuk diomelkan, diributkan, digerutukan, dan dijadikan bahan untuk disengketakan. Tetapi mengapa sepertinya tidak ada bahan untuk disyukurkan? Padahal Alkitab berkata, “Ucaplah syukur senantiasa atas segala sesuatu dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus kepada Allah dan Bapa kita” (Efesus 5:20).
Mengucap syukur tidak hanya terjadi pada saat kita sedang senang, tetapi juga pada saat kita dilanda kesusahan. Apakah mungkin? Mengapa tidak? Apakah Roh Kudus di dalam diri kita hanya sebagai hiasan semata? Tidakkah Anda mengerti, bahwa Dia adalah penghibur kita yang sejati (Yohanes 16:7)?[rhb]
Ucapan syukur yang dinaikkan saat susah, “nilainya” lebih tinggi daripada saat gembira.