“Aku mengasihi TUHAN, sebab Ia mendengarkan suaraku dan permohonanku.” (Mazmur 116:1)
Di sekolah-sekolah yang berlatarbelakang iman kristiani biasanya diawali dengan renungan pagi, demikian juga pada jam pulang sekolah, ditutup dengan doa ‘Bapa Kami’ di masing-masing kelas. Hal itu memicu setiap kelas berlomba-lomba mengucapkan doa ‘Bapa Kami’ secepat mungkin agar bisa menjadi kelas yang pertama kali pulang.
Karena masih kecil dan menjadi rutinitas, anak-anak hanya melakukannya sebagai kebiasaan. Alhasil, doa itu hanya diucapkan sebagai hafalan saja tanpa memahami maknanya. Tapi ketika kita beranjak dewasa baik secara usia maupun kerohanian, tentu saja kita berdoa dengan rasa hormat kepada Tuhan. Ketika di gereja kita tidak lagi berdoa sambil bermain handphone. Tidak mendengarkan firman Tuhan sambil sibuk update status di jejaring sosial.
Doa adalah sebuah hubungan. Bagaimana sikap kita akan menunjukkan seberapa jauh arti hubungan itu bagi kita. Jika doa hanyalah sebuah liturgi, pasti akan membosankan. Manusia membutuhkan warna yang berbeda, suasana yang berbeda.
Tuhan tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Kita dapat tetap memuji dan menyembah Tuhan ketika berada di mobil misalnya. Tuhan bersedia ditemui kapanpun kita menyediakan waktu bersekutu denganNya, namun tentu saja kita harus datang dengan rasa hormat. Sikap kita ketika berdoa akan menunjukkan bagaimana kita menghargai kebaikan Tuhan. [ss/rhb]
Berdoalah bukan karena terbiasa, tapi karena kita ingin membangun hubungan dengan Tuhan.