BETHANY.OR.ID – Melihat posisinya sekarang, Gembala Sidang Gereja Bethany Indonesia Solo yang membawahi sekitar 2.500 jemaat, kita pasti tak akan percaya dengan segala sepak terjangnya semasa kuliah. “Saya mahasiswa troublemaker,” kisah lulusan Fakultas Ekonomi Widya Mandala Surabaya ini menerawang masa lalunya. Padahal, Freddy lahir dari keluarga hamba Tuhan. “Bukan jaminan,” tukasnya kalem.
Cerita pun berlanjut. Menurut Freddy, kenakalannya sudah tampak sejak kecil. Untuk meredam kenakalannya, orang tua Freddy kecil menyuruhnya ikut Sekolah Minggu di banyak tempat. “Istilahnya, saya dikekang dengan kekerasan religius, teologi, agama, tapi justru tidak membentuk saya,” kenang Freddy.
Kebandelannya berlanjut sampai dewasa. Posturnya yang tinggi besar berhiaskan tatoo di sekujur badan, menjadikannya “jagoan” tidak kenal takut. Ditambah tempat tinggalnya di lingkungan kumuh, membentuk karakter Freddy menjadi preman kelas berat. Jangan tanya berapa kali dia berurusan dengan polisi karena kenakalannya.
Sampai satu peristiwa yang nyaris merenggut nyawanya, membuat Freddy tersadar. “Saya berkelahi dan terkena tusukan di tubuh saya. Sebetulnya saya sudah divonis tidak ada harapan sembuh,” tuturnya.
Ketika di ambang maut, Freddy pun membuat “perjanjian” dengan Tuhan. “Kalau saya sembuh, saya akan melayani Tuhan.” Freddy sembuh, dan ia menepati janjinya melayani Tuhan.
Ditempa Tempramen Keras
Freddy Riva kemudian bergabung “Yerusalem”, sebuah group band rohani di Surabaya. Hingga pada akhir 1970-an, mereka tampil dalam Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) di Stadion Gelora 10 November, Tambaksari. Di sanalah, untuk kali pertama, Freddy bertemu dengan Pdt. Abraham Alex Tanuseputra yang sedang memimpin kebaktian. “Kami berkenalan dan ternyata ada kecocokan komunikasi,” terangnya lagi. Tahun berganti, Freddy pun resmi menjadi menjadi pelayan Tuhan di bawah bimbingan Pak Alex, sapaan akrab pendiri Gereja Bethany Indonesia itu.
Herannya, Freddy Riva malah tertarik melayani di daerah-daerah yang jemaatnya belum terlalu banyak, atau malah belum terbentuk. Padahal, jemaat Bethany di awning Gereja Bethany Manyar masih 200 sampai 300. “Saya banyak melayani di daerah-daerah sehingga tidak banyak orang yang mengenal saya,” ungkapnya lagi.
Ada satu kesan Freddy Riva tentang sosok Pdt. Abraham Alex. Ia mengenal Pak Alex sebagai figur yang tempramental dan emosional. Namun justru dipakai Tuhan untuk menghajarnya, “Tetapi saya taat terhadap perkataan seorang pemimpin yang pemarah, karena saya percaya Tuhan taruh beliau di atas saya. Dari beliau juga saya belajar tentang iman, sampai akhirnya pada 1985 saya mendapat misi mengembangkan Bethany,” kenangnya.
Pada 1991, Freddy Riva dipersiapkan Tuhan untuk menjadi gembala, setahun kemudian ia pun dikirim ke Solo. Di sana, Freddy menjadi gembala dan harus membenahi gereja yang sudah babak belur. Hasilnya, gereja itu pun berkembang ke Sukoharjo, Purwodadi, dan Wonogiri. Dan saat ini, Gereja Bethany Pasar Legi Solo berkembang luar biasa. Selain sebagai Gembala Sidang, Pdt. Freddy Riva juga menjadi anggota tetap Dewan Rasuli Sinode Gereja Bethany Indonesia.
Ada satu motto dalam pelayanan yang dipegang Pdt. Freddy Riva, “Ada awal tiada akhir. Saya tidak mau menjadi mantan hamba Tuhan, sekali disandang untuk selama-lamanya.” (Sumber Buletin Sinode edisi II 2005/yos/wic)