BETHANY.OR.ID- Tema natal 2014 adalah “Living for God.” Artinya hidup untuk Tuhan. Dalam memberi hidup untuk Tuhan itu, ada dua hal yang selalu tarik menarik. Pertama “keinginan manusia” dan kedua adalah “kehendak Allah.”
Dalam Lukas 1:26-38 diungkapkan tentang Maria yang dipakai Tuhan. Saat dipakai Tuhan, Maria menghadapi sesuatu yang sulit yang harus dia pilih. Sebagai manusia dia memiliki suatu rencana dalam kehidupannya. Dia merencanakan pertunangan dan perkawinan, dia merencanakan membangun keluarganya dengan baik. Tetapi, tiba-tiba tiba malaikat Tuhan, Gabriel datang menemui dia. Bahwa, dia akan mengandung dari Roh Kudus. Di situ dia dihadapkan pada dua pilihan, mengikuti keinginannya sendiri atau menuruti kehendak Allah.
Saat Natal kami adakan roadshow selama satu bulan dengan mengunjungi cabang-cabang. Salah satunya ke Gereja Bethany Mojokerto. Saat melayani di Mojokerto, saya mulai bernostalgia. Saya meninggalkan rumah itu 41 tahun yang lalu. Saat pindah ke Surabaya, usia saya 7 tahun, sekarang 48 tahun. Ada kenangan yang perlu saya saksikan tentang rumah itu.
Gereja Bethany di Mojokerto dibangun tahun 1967. Kami sekeluarga belum mempunyai rumah saat itu. Kami tinggal masih di rumah nenek. Gereja masih belum punya pastori, hingga tahun 1971 barulah pastori itu selesai dibangun.
Pada saat pindah di pastori, kami bersukacita sekali, karena kami mempunyai sebuah rumah, terutama ibu saya. Kalau di rumah nenek saya kita tinggal di paviliun belakang. Kalau di sebut rumah mungkin agak terbatas karena kecil sekali.
Pada saat itu ibu saya senang sekali mempunyai rumah. Bertepatan dengan itu adik saya lahir, tapi sayangnya ia lahir dengan posisi kaki dulu sehingga kekurangan oksigen di kepalanya, akibatnya menderita “brain damage,” ada kerusakan di otaknya. Hingga umur 4-5 tahun belum bisa berjalan. Sekitar tahun 1974, adik saya mulai berjalan. Begitu sempurna rumah itu meskipun di belakang paviliun gereja. Kehidupan kami membaik, punya rumah dan bahagia rasanya.
Ayah saya (Pdt.Abraham Alex Tanuseputra) sering melayani di Surabaya. Pada suatu hari tiba-tiba berkata kepada ibu saya, bahwa Tuhan menyuruhnya pindah ke Surabaya. Ibu saya langsung menolak. Hal itu beralasan, sebab di Surabaya kami tidak punya rumah, tidak punya apa-apa dan harus mulai dari nol lagi. Sedangkan di Mojokerto meskipun gereja kecil, hiudp kami sudah mapa.
Adik saya sudah umur 5 tahun, namun tiba-tiba dia tidak mau belajar berjalan. Kembali lumpuh seperti semula. Saya ingat sekali, saya dengan kakak saya, Hana, kebingungan. Mengapa ia tidak mau berjalan. Kembali dia ndeprok (duduk) di bawah lantai, tidak mau melakukan apa-apa. Satu hari ditunggu tidak terjadi apa-apa, dia tetap lumpuh. Hari kedua dan ketiga juga demikian. Menjelang sore sekitar pukul 5, akhirnya saya dengan kakak berbicara kepada ibu, “Sudahlah Mi, ayo kita pindah, supaya Andre bisa berjalan lagi!”
Kami percaya seperti itu, meskipun kami masih kecil dan memiliki pemikiran sederhana. Saat itu yang ada dibenak saya, mungkin kalau kita mau menuruti rencana Tuhan, maka adik saya bisa berjalan.
Akhirnya ibu saya menyerah dan berkata kepada ayah saya, “Ya sudah, kalau Andre bisa berjalan lagi, kita pindah!” Beberapa menit kemudian, tiba-tiba adik saya yang sebelumnya tak mau jalan, mulai berdiri kembali. Pada saat itu kami bersukacita, terus kami putuskan pindah ke Surabaya. Kami mulai mengemasi barang-barang, dan kami sekeluarga pindah ke Surabaya.
Kami tinggal di salah satu gereja cabang yang kecil, kami memulai dari bawah lagi. Yang ingin saya katakan, bahwa ayah saya mau mengikuti kehendak Tuhan. Bayangkan kalau saat itu, kami tidak mau pindah. Apa yang terjadi? Tidak akan pernah ada gereja yang seperti Nginden, tak ada manyar, tidak ada citra, tidak ada lain-lain.
Kadang kehendak dan keinginan manusia itu bisa membelenggu. Tapi pada saat kita mau melakukan kehendak Tuhan, meskipun dengan susah payah dan bayar harganya, maka akan ada hasil yang dicapai.
Demikian juga Maria. Kalau pada saat itu dia menolak, apa yang terjadi? Dia mungkin tidak akan dikenal seperti sekarang. Dia bukan siapa-siapa. Bagaimana dengan kita?
Saat diangkat sebagai seorang “Gembala Jemaat,” Saya melalui banyak proses/ pembentukan Tuhan. Itu tidak gampang. Saya mengatakan seperti yang Maria katakan, sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan. Saya mempunyai suatu keinginan-keinginan, yaitu ingin menjadi pengusaha yang berhasil. Saya tidak mau terbelenggu sebagai hamba Tuhan. Tetapi Tuhan terus menggiring saya.
Dan hingga saat ini saya memutuskan menjadi “seorang hamba Tuhan.” Banyak proses yang saya hadapi dalam melayani Tuhan di gereja pada hari-hari ini. Terkadang saya ingin putus asa. Tidak ingin melanjutkan lagi. Tapi saya ingin bagikan pada saudara. Pada saat saya terjepit, apa yang saya lakuklan. Saya duduk di suatu tempat, saya menyendiri. Pada saat itu saya mulai berdoa. Kadang-kadang saya sudah tidak bisa berbahasa manusia lagi. Yang saya lakukan adalah berbahasa roh (Roma 8:26-28).
Saya banyak mengalami jalan buntu. Seperti saat di Jakarta misalnya, saya mengalami keputusasaan yang luar biasa, terutama pada saat gelar perkara di Mabes Polri. Pada saat itu saya ingin menyerah, istri saya juga katakan saya ingin menyerah, saya sudah capek. Yang saya lakukan hanya berbahasa roh. Saya menyendiri, saya berdoa dengan Tuhan sendiri. Bahasa saya tidak bisa menyampaikan keluhan-keluhan saya, hanya roh saya yang menyampaikan pada Tuhan. Pada saat saya sampaikan itu, saya mengalami banyak mukjizat.
Beberapa bulan yang lalu saya minta bantu doa dari jemaat. Pada saat melakukan itu, saya mendapatkan jalan keluarnya. Bukan satu kali, tapi ada dua kali, ada tiga kali sampai hari ini. Seharusnya posisi saya yang terpojok di bawah, Tuhan balikkan sampai di atas.
Demikian juga apabila saudara memutuskan hidup untuk Tuhan, jangan pernah putus asa. Memang dalam kehidupan ini banyak putus asa. Tapi pada saat saudara mulai terpojok, jangan pernah saudara undur. Lakukan seperti yang saya lakukan, maka mukjizat Tuhan saya percaya akan saudara alami. (sumber: kotbah Natal 25 Desember 2014/ssn/wic)